Koran Independen | Opini – Baru saja kita melewati sebuah fase pesta demokrasi yang mempertontonkan berbagai drama, mulai dari pencalonan sampai pada hari perhitungan suara. Semua proses ini semakin membuat generasi muda Aceh terasing dari harapan, bayangan dan idaman mereka terhadap masa depan Aceh yang lebih cemerlang.
Negara ini terus melangkah maju dengan ambisi besar di berbagai bidang pembangunan. Namun, di balik kemajuan itu, ada kenyataan yang tak bisa diabaikan: keterasingan masyarakat, terutama generasi muda, dari politik dan pemerintahan. Di tengah krisis kepercayaan yang semakin meluas serta praktik kecurangan yang mencederai nilai-nilai demokrasi, muncul pertanyaan besar: mampukah demokrasi bertahan di negeri ini, atau justru akan kehilangan maknanya?
Melihat survei yang dilakukan oleh Center for Strategic and International Studies (CSIS) pada 2022 menggambarkan fenomena mencemaskan. Hasil survei menunjukkan rendahnya minat generasi muda Indonesia terhadap politik. Lebih dari separuh responden menganggap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga yang tidak layak dipercaya.
Data ini menegaskan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap institusi demokrasi terus menurun. Jika lembaga yang seharusnya menjadi representasi rakyat kehilangan kredibilitas, maka tidak mengherankan apabila partisipasi politik generasi muda juga ikut menurun secara signifikan.
Realitas ini semakin nyata ketika melihat berbagai unggahan melalui media sosial seperti TikTok, Instagram, facebook, bahkan group-group WhatsApp tetang kasus kecurangan yang terjadi dalam Pilkada 27 November lalu. Dugaan pelanggaran meliputi manipulasi hasil suara, penggelembungan partisipasi pemilih, intimidasi terhadap saksi, serta penggunaan dokumen palsu dalam rekapitulasi suara.
Beberapa TPS dilaporkan memiliki tingkat partisipasi hingga 100 persen, yang jelas-jelas mengundang tanda tanya. Selain itu, intimidasi terhadap saksi paslon tertentu terjadi secara luas. Praktik ini dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), melibatkan pihak penyelenggara, pendukung paslon tertentu, hingga aparatur desa.
Ironisnya, lembaga pengawas dinilai lamban merespons laporan pelanggaran ini. Situasi ini memicu desakan dari berbagai pihak untuk dilakukan pemungutan suara ulang semisal di seluruh wilayah Aceh Utara. Namun kenyataannya, hingga kini langkah konkret untuk menangani dugaan kecurangan tersebut belum terlihat akan terjadi. Ketidakpedulian ini menciptakan rasa frustrasi tersendiri di kalangan masyarakat, terutama generasi muda, yang semakin kehilangan keyakinan bahwa suara mereka memiliki arti dalam sistem politik.
Ketika praktik-praktik kotor ini mencederai proses demokrasi, generasi muda—yang sebenarnya diharapkan menjadi agen perubahan—malah terjebak dalam sikap apatis. Mereka mulai memandang politik sebagai dunia yang penuh intrik, di mana idealisme sering kali kalah oleh kekuasaan dan uang.
Fenomena ini memperburuk alienasi politik yang sudah lama terjadi. Di banyak tempat, rakyat merasa aspirasi mereka tak pernah didengar. Kebijakan yang dihasilkan pemerintah sering kali hanya melayani segelintir pihak dan mengabaikan kebutuhan masyarakat luas.
Di kabupaten Aceh Utara, misalnya, praktik politik dinasti dan perebutan jabatan tanpa kompetensi semakin mengukuhkan pandangan bahwa demokrasi hanyalah formalitas belaka. Akibatnya, kepercayaan terhadap sistem politik terus merosot. Generasi muda, yang seharusnya menjadi tulang punggung demokrasi, memilih menyerah pada apatisme. Alih-alih melihat politik sebagai ruang untuk berkontribusi, mereka melihatnya sebagai arena tanpa ruang bagi integritas atau perubahan nyata.
Penurunan kualitas demokrasi tidak hanya terjadi di tingkat lokal, tetapi juga tercermin di skala nasional. Laporan The Economist Intelligence Unit tahun 2023 menempatkan Indonesia pada peringkat 54 dari 167 negara dengan skor 6,71, turun dibandingkan tahun sebelumnya. Indonesia kini masuk kategori "flawed democracy" atau demokrasi cacat.
Situasi ini mempertegas bahwa demokrasi kita sedang mengalami kemunduran serius. Ketika proses politik terus diwarnai manipulasi dan ketidakadilan, kepercayaan publik terhadap sistem pun semakin terkikis.
Namun, di tengah situasi suram ini, harapan masih ada. generasi muda Aceh memiliki potensi besar untuk menjadi pelopor perubahan. Sejarah panjang Aceh sebagai wilayah dengan semangat perjuangan yang kuat membuktikan bahwa masyarakat Aceh mampu menghadapi berbagai tantangan.
Sayangnya, potensi ini akan sia-sia jika generasi mudanya terus terjebak dalam apatisme. Oleh karena itu, memulihkan kepercayaan mereka terhadap politik menjadi hal yang mendesak. Penegakan hukum yang adil, transparansi dalam proses politik, serta pemberdayaan masyarakat agar aktif terlibat harus menjadi prioritas.
Pada akhirnya, masa depan demokrasi adalah tanggung jawab kita bersama. Generasi muda, khususnya di Aceh, harus mengambil peran aktif untuk menjaga demokrasi tetap hidup. Mengkritisi kebijakan, menuntut transparansi, dan terlibat langsung dalam proses politik adalah langkah awal untuk menciptakan perubahan nyata.
Jangan biarkan alienasi dan kecurangan menjadi warisan yang diwariskan kepada generasi mendatang. Demokrasi membutuhkan suara kita semua. Jika kita memilih diam, maka sistem yang cacat ini akan terus bertahan. Namun, jika kita memilih untuk terlibat, perubahan adalah sesuatu yang mungkin. Generasi muda Aceh, bangkitlah, dan jadikan demokrasi sebagai warisan yang layak diperjuangkan.
Generasi muda adalah masa depan Aceh, maka mulailah bergerak untuk memperbaiki Aceh yang sedang sakit. Aceh hari ini tak ubahnya Bagai seorang pasien menderita penyakit darah manis, maka solusinya adalah aputasi untuk menyelamatkan anggota badan lainnya dari menjalarnya penyakit ganas tersebut.
Untuk menyelamatkan Masa depan Aceh bebas dari penyakit seperti itu, generasi muda harus bangkit, menyatukan barisan, bergerak bersama untuk menyelamatkan dan menciptakan masa depan Aceh gemilang, semoga!