
_Muhammad Irham_
Persoalan sengketa empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara muncul setelah Kementerian Dalam Negeri menerbitkan Keputusan Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang secara resmi mengalihkan status administratif empat pulau yang sebelumnya tercatat di Kabupaten Aceh Singkil (Aceh) menjadi bagian Kabupaten Tapanuli Tengah (Sumut).
Keputusan ini memicu keresahan di kalangan masyarakat pesisir Aceh karena pulau-pulau itu memiliki “keterikatan historis, geografis, dan kultural” dengan Aceh. Kondisi tersebut berpotensi menimbulkan konflik antar daerah, merusak hubungan sosial, dan berdampak pada pengelolaan sumber daya alam setempat.
Dari sisi hukum, Aceh diakui memiliki status khusus menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. UU ini menyatakan bahwa Aceh adalah *daerah provinsi yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus* untuk mengatur sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya. Status kekhususan ini memperkuat hak otonomi Aceh dalam mengelola wilayah dan sumber daya alamnya. Dalam konteks penyelesaian sengketa, mekanisme konstitusional tersedia melalui peradilan tinggi negara. Sengketa administratif antar pulau ini dapat diajukan ke Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung untuk menguji legalitas perubahan batas wilayah yang dipermasalahkan. Jalur konstitusional semacam ini sesuai dengan prosedur hukum antar daerah yang diatur dalam undang-undang pemerintahan daerah.
Dalam konteks sosial, keempat pulau sengketa tersebut telah lama menjadi bagian integral bagi masyarakat Aceh Singkil. Pulau-pulau itu telah lama terintegrasi dengan wilayah Aceh, terutama dalam konteks adat, pelayanan pemerintahan, dan penggunaan sumber daya oleh masyarakat lokal Aceh. Masyarakat pesisir setempat menganggap pulau-pulau tersebut sebagai bagian dari identitas budaya dan sumber penghidupan mereka. Ketidakpastian status administratif ini menimbulkan kecemasan tersendiri di kalangan warga. Mereka khawatir perubahan sepihak tersebut merongrong prinsip keadilan antar daerah dan melemahkan kepercayaan publik. Menurut saya (Irham), pemindahan batas tanpa konsultasi publik *bertentangan dengan prinsip transparansi dan keadilan antar wilayah otonomi*, sehingga memperdalam kekhawatiran masyarakat.