Masjid yang Kehilangan Ruh Kemanusiaannya
Tragedi di Sibolga dan Krisis Sosial Keagamaan Kita
Oleh: Yusrizal Ibrahim Lamno*
Masjid, dalam sejarah Islam, bukan sekadar bangunan tempat sujud. Ia adalah simbol peradaban, ruang publik yang terbuka bagi semua golongan, serta pusat kegiatan sosial, politik, pendidikan, dan perlindungan. Pada masa Rasulullah SAW di Madinah, masjid berfungsi sebagai jantung komunitas umat -- tempat orang beribadah, bermusyawarah, belajar, berlindung, bahkan berdamai setelah konflik.
Namun, peran luhur itu kini tampaknya mulai memudar. Masjid-masjid di banyak daerah berubah menjadi ruang eksklusif yang kaku, terpisah dari denyut sosial masyarakat di sekitarnya. Tembok tinggi, pagar besi, dan pintu toilet yang digembok menjadi simbol keterasingan antara masjid dan umatnya. Masjid, yang sejatinya rumah Allah dan tempat aman bagi siapa pun, kini sering tampak seperti wilayah privat yang menakutkan bagi orang luar.
Tragedi Sibolga: Cermin Kegelapan Nurani
Kebiadaban yang terjadi di Masjid Agung Sibolga -- ketika seorang musafir muda asal Simeulue dibunuh dan dirampok di tempat yang seharusnya menjadi rumah perlindungan -- bukan sekadar tindak kriminal biasa. Ia adalah simbol dari rusaknya tatanan nilai dan tergerusnya rasa kemanusiaan. Peristiwa ini mengguncang nurani, bukan hanya karena keji, tetapi karena terjadi di ruang suci tempat manusia bersujud kepada Tuhan.
Masjid yang dulu menjadi tempat perlindungan bagi orang terlantar dan pengungsi kini gagal menjalankan peran dasarnya. Tragedi ini seolah menegaskan bahwa kesalehan ritual belum tentu melahirkan kesalehan sosial.
Pelajaran dari Danau Paris
Dua dekade lalu, di Danau Paris -- suatu daerah di perbatasan Aceh-Sibolga -- penulis menyaksikan pemandangan yang sederhana namun sarat makna. Sekelompok pemuda non-muslim duduk di tangga masjid sambil bercengkrama; salah seorang dari mereka memeluk seekor anjing. Sewaktu saya tanya, dua marbot masjid di sana dengan tenang menjawab bahwa mereka tidak ingin menimbulkan konflik dengan masyarakat sekitar yang mayoritas non-muslim. Menjelang azan, mereka menyamak kembali lantai tangga dengan air tanah 7 kali.
Kisah kecil ini memperlihatkan wajah Islam yang ramah, penuh hikmah, dan berakar pada kearifan sosial. Para marbot itu memahami hakikat dakwah: membangun kedamaian, bukan menebar permusuhan.
Dari Ritual ke Sosial: Gagalnya Pendidikan Keagamaan