Lhokseumawe, Koranindependen.co - 30 November 2024. Dalam kancah demokrasi, filosofi "Selesai Bertanding, Mari Bersanding" bukan sekadar rangkaian kata, melainkan seruan bijak yang mengingatkan kita pada makna luhur dari sebuah kontestasi. Pilkada sejatinya adalah panggung untuk memilih pemimpin, bukan ladang yang menyemai benih perpecahan. Ir. Muhammad Hatta menggarisbawahi pentingnya membangun kebersamaan setelah hiruk-pikuk politik berlalu.
Setiap kontestan adalah pejuang dalam perjalanan panjang menuju masa depan yang lebih gemilang. Kemenangan sejati tidak hanya tercermin dari siapa yang meraih suara terbanyak, melainkan dari kemampuan seluruh pihak untuk merajut kembali tenun kebersamaan pasca-pesta demokrasi. Yang menang mengemban amanah rakyat, sementara yang belum berkesempatan tetap menjadi pilar penopang cita-cita bersama.
Mari kita hapus sekat-sekat perbedaan dan luruhkan sisa ego yang mungkin masih bersemayam. Demokrasi membutuhkan jiwa-jiwa besar yang mampu menempatkan kepentingan rakyat di atas ambisi pribadi. Ketika pertandingan usai, saatnya bersanding, bersama membangun daerah dalam harmoni. Dengan semangat gotong royong dan kesadaran kolektif, setiap langkah kecil yang di tempuh bersama adalah perjalanan menuju kejayaan yang abadi.
"DUIT" dalam Konteks Pesta Demokrasi Pemilihan Kepala Daerah
Dalam dinamika pilkada, filosofi DUIT (Doa, Usaha, Ikhlas, dan Tawakkal) menjadi fondasi moral dan spiritual yang penting. Bukan hanya bagi para calon pemimpin, tetapi juga bagi seluruh elemen masyarakat yang berpartisipasi dalam proses demokrasi.
1. Doa: Fondasi Spiritual dalam Kontestasi Politik
Doa bukan sekadar ritual personal, melainkan refleksi ketergantungan manusia kepada Sang Khalik. Seorang calon pemimpin yang memulai perjuangan dengan doa menunjukkan kesadaran bahwa kemenangan adalah amanah besar yang memerlukan bimbingan ilahi. Bagi masyarakat, doa adalah harapan agar proses demokrasi berjalan jujur, adil, dan melahirkan pemimpin yang amanah.